70 TAHUN RENDRA:
Hadir dan Mengalir
W.S Rendra adalah susuk penting dalam dunia kesenimanan Indonesia. Dia dikenali sebagai pujangga, penyair, dramawan, sasterawan, budayawan dan cendekiawan ternama Indonesia. Bahkan dia juga dikenali dengan beberapa gelaran dan julukan lain seperti seniman Burung Merak dan pemimpin Kaum Urakan. Namanya berada di baris depan sekali dalam perkembangsan teater Indonesia diiringi oleh tokoh yang lain seperti Teguh Karya, Ariffin C. Noer, Putu Wijaya, N. Riantiarno dan beberapa nama lain. Rendra adalah tokoh yang terkenal, penting dan popular, bukan sahaja dalam kalangan rakyat bawahan, tetapi juga di mata pemerintah dan sistem politik negaranya. Seterusnya beliau dianggap berada di mana-mana sahaja di negeri ribuan pulau itu.
70 TAHUN RENDRA: Hadir dan mengalir (Burung Merak Press: 2005) adalah sebuah buku yang dieditori oleh Dwi Klik Santosa. Ini sebuah buku penting yang merakamkan rasa penghargaan yang tinggi oleh para sahabat, murid-muridnya dan juga para tokoh lain kepada Rendra yang mencapai umur 70 tahun. Nampaknya telah menjadi suatu tradisi yang menarik dalam dunia penerbitan buku di Indonesia, apabila seseorang itu mencapai umur 70 tahun, sebuah buku khusus akan diterbitkan dengan menyertakan kumpulan tulisan oleh para sahabat, saudara mara, murid-murid untuk merakamkan penghargaan kepada sumbangan dan ketokohan orang yang dimaksudkan. Dalam siri yang sama telah terbit buku khusus untuk HB Jassin, Hamka, Asrul Sani, Ajip Rosidi, Taufiq Ismail, bahkan hampir semua tokoh-tokoh penting dalam dunia kesenimanan Indonesia.
Buku penghargaan kepada Rendra ini dibahagikan kepada enam bahagian dengan pecahan babnya seperti “Sastera dan Filsafat”, “Politik, Hukum dan Ham”, “Adab dan Kebudayaan”, “Teater, Puisi dan Ekspresi”, “Humanisme dan Interaksi Sosial”, dan “Solidarnos dan Universalisme”. Para penulis yang terlibat menyumbangkan tulisan mereka untuk buku ini juga bukannya sembarangan penulis. Seno Gumira Ajidarma, Pamusuk Eneste, Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, Afrizal Malna, Putu Wijaya, Nano Riantiarno, Saini KM, Jakob Samardjo, Danarto, Arief Budiman, Toeti Heraty, Mustofa Bisri dan Sapardi Dojko Damono adalah nama-nama besar dalam dunia kesusasteraan Indonesia. Manakala nama-nama seperti Ahmad Syafi’i Maarif, Adnan Buyung Nasution, dan Wiranto semua diketahui umum kehebatan dan susuk mereka dalam jagat politik Indonesia.
Menyusun sebuah buku tentang seorang tokoh penting, dan mengumpulkan sumbangan tulisan oleh orang-orang penting, bukan kerja mudah. Penjadualan berubah dan beranjak kerana menunggu tulisan yang tidak kesampaian di meja editor. Catatan Dwi Klik Sentosa selaku editor buku ini wajar sekali direnungi: “Memang tidak mudah mendapatkan tulisan para sahabat Rendra dalam waktu sependek itu. Kita tahu, bahawa para sahabat Rendra, adalah kosmopolit, dan rata-rata banyak yang jadi ‘orang besar’. Artinya, jika saya ingin meminta tulisan kepada para sahabat itu, harus mau jibaku dan kerja ekstra keras. Sebab, sebagaimana yang terjadi, dan saya alami secara nyata, sahabat-sahabat Rendra memanglah orang-orang top dan tokoh-tokoh penting yang masing-masing penuh kesibukan dan punya jam terbang tinggi.”
Penyair Sapardi Dojoko Damono menulis “Tentang Menjadi Tua – Surat untuk Mas Willy”. Sapardi dan Rendra di masa kecil pernah menjadi tetangga. Surat Sapardi ini menarik untuk dikongsi. Tulis Sapardi: “ Mas Willy, kita sudah tua sekarang. Tidak terasa. Mungkin kerana kita tidak mau merasa tua, tiba-tiba sudah jadi tua, begitu saja. Tetapi siapa pula yang mau menjadi tua, bukan? Saya sering merasa bahwa tahun-tahun yang kita jalani ini bonus belaka; bukankah konon plafon usia kita ‘hanya’ sekitar enam puluh tahun? Dibanding Chairil, kita ini sudah luar biasa tuanya; tetapi dibanding Achdiat, kita ini remaja.” Sapardi menutup suratnya dengan cantik sekali, “Mas Willy, surat ini adalah ucapan selamat ulang tahun dan terima kasih atas sajak-sajak yang telah memberi kebahagiaan kepada saya ketika membacanya, yang sekaligus memberikan keyakinan, bahwa kata adalah ciptaan manusia yang selalu harus diciptakan kembali agar tidak hanya dijadikan alat untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Agar kata tetap segala-galanya.”
Ahmad Syafi’i Maarif, Ketua Umum PP Muhammadiyah (1998-2005) menuliskan dengan judul “Bung Rendra dan Isu Politik Kontemporer”. Tulis Ahmad Syafi’i: “Rendra pada hemat saya, telah tampil sebagai pemikir politik tanpa tergiur untuk merapatkan dirinya dengan kekuasaan. Sebagai manusia merdeka, ia tidak peduli apakah ada pihak yang akan tersinggung kena sengat kritiknya, sebab di balik itu semua, bersemayam cintanya yang teramat dalam kepada bangsa dan negara ini. Di bawah sistem otoritarian, ruang gerak kepenyairannya sangat diawasi, bahkan dilarang tampil ke pentas, tetapi ia tetap bersuara melalui berbagai media. Dia tidak bisa di-rem, tidak bisa dipasung, kerana bersuara adalah bagian yang telah menyatu dengan seluruh keperibadiannya. Semua rem dan pasungan itu pasti akan dihancurkan dan buatnya berantakan.”
Adnan Buyung Nasution menuliskan eseinya “Duet Merak di Panggung Demokrasi”. Semasa pemerintahan Soeharto, terdapat dua burung merak yang berada di dalam pengawasan kerana kelantangan mereka. Merak hitam merujuk kepada Rendra dan merak putih (merujuk kepada warna rambutnya) adalah merujuk kepada Adnan Buyung Nasution. Adnan memberikan catatan yang amat menarik sekali: “Kami berdua diawasi kerana menjadi motor gerakan-gerakan pro demokrasi. Dari muda, saya memang paling ribut kalau pemerintah sudah menunjukkan gelagat akan lari dari cita-cita menegakkan demokrasi, keadilan sosial, hukum dan hak asasi manusia. Rendra juga rupanya begitu. Ia adalah adik seperjuangan yang memiliki kesamaan dalam visi mau pun kepedulian pada kehidupan bangsa dan negara. Khususnya kepada cita-cita kerakyatan yang berkeadilan sosial dan menjunjung tinggi harkat serta martabat kemanusiaan.’
Tambah Adnan Buyung Nasution lagi, : “Kami bersama-sma maju ke garis depan dalam berbagai aksi perlawanan. Rendra lahir pada saat yang tepat untuk memerankan repertoar para aktivis. Kata orang, kami berdua adalah bintang panggung yang sama-sama punya kemampuan membius massa. Saya dengan pidato dan Rendra dengan puisinya. Kerana itulah kami berdua diintai terus oleh intel.”
Emha Ainun Nadjib menuliskan “Rendra di Tengah Indonesia-Indonesiaan dari Plastik” dengan kekaguman dan penghargaannya yang tinggi. Tulisnya: “Saya mencintai orang ini, sangat menyanyangi orang ini, pada tingkat sampai saya bisa sangat bergembira oleh perjumpaan dengannya dan menangis menitikkan airmata apabila kehilangan dia.” Seterusnya Emha menuliskan, “Rendra kenanglah Indonesia, kerana Indonesia tak mampu mengenangmu, kecuali sebatas ingatan-ingatan serabutan, persangkaan ilmu-ilmu pikun, serta analisis dan deskripsi yang muluk namun tak pernah sungguh-sungguh berniat menyelami samudera rohani peradabanmu. Rendra makhluk Tuhan berbadan raksasa, tak tertampung oleh negara. Kesenian terlalu kecil dan sempit untuknya. Jika kebudayaan hendak menampung Rendra sebagai warganya, hendaklah kebudayaan berfikir ulang tentang dirinya: apakah kebudayaan lebih besar dari Rendra sehingga Rendra menjadi bagian darinya.”
Paling penting dan menarik adalah tulisan Putu Wijaya tentang Rendra. Putu menuliskan “Guru, Sahabat dan Musuh” yang ditujukan kepada Rendra. Tulis Putu: “Rendra buat saya adalah seorang guru, sahabat dan musuh. Tempat mencari ilmu, mengembangkan diri, mendapatkan pencerahan, penyegaran, hingga mampu memilih sudut pandang, mengolah keadaan agar berdaya tampil dengan otentik, total dan selalu berdarah dengan komitmen sosial yang tinggi. Rendra juga tempat mendapatkan kehangatan, ispirasi, dorongan, motivasi, bahkan juga stimulasi untuk maju, berambisi agar menggelegak dan lapar mencapai puncak dari kemampuan kita sendiri. Tepi bersamaan dengan itu, Rendra juga adalah sebuah tantangan, lawan, perdebatan batin, pertikaian, perenungan dan pencarian diri yang membuat saya sadar kepada diri saya, lalu berontak dari segala ketidakbebasan, tekanan dan kekangan, termasuk terhadap ego Rendra sendiri yang begitu besar sehingga tidak pernah memberikan ruang kepada orang lain untuk berkembang, sehingga harus saya tentang, jebol dan terobos sehingga saya menjadi mandiri.”
Buku 70 TAHUN RENDRA: Hadir dan Mengalir adalah sebuah buku yang perlu dibaca oleh semua orang. Apatah lagi sekiranya seseorang itu terlibat di dalam dunia kesenimanan. Tak sempurna kesenimanan seorang seniman dalam bidang apapun – teater, muzik, filem, lukisan, tari atau sastera sekiranya dia tidak membaca buku ini. Buku ini memberikan pelbagai informasi tentang kehebatan susuk seorang Rendra si Burung Merak teater Indonesia itu. Pembaca akan berdepan dengan ruang luas cakerawala dunia seorang seniman rakyat yang sebati dengan permasalahan sosial dan kehidupan bangsanya. Selamat membacanya.
Rendra, 75 - Si Burung Merak di pentas panggung Indonesia itu telah kembali ke sangkar-Nya yang abadi pada hari khamis, jam 22.10 WIB. Al-fatihah.