Saya acap kali menulis tentang sarjana, sehingga ada sarjana dah naik muntah bila berpapasan dengan orang yang bukan sarjana seperti saya. Wabillahi, saya tak pernah memusuhi sarjana, bahkan mereka inilah guru-guru saya dan kawan-kawan saya. Presiden PENA selaku bos saya juga sarjana, tetapi dia tidaklah termasuk dalam kategori ini.
Memikirkan saya bukan sarjana, saya seringkali tunduk merenung diri, untuk menolak apabila ada jemputan untuk menulis kertas kerja ilmiah sebab saya sedar siapa diri saya. Apabila kita dijemput menulis dan membentangkan kertas kerja - maka kepercayaan itu tentulah tinggi atas diri kesarjanaan yang ada pada diri kita. Tetapi tentulah tidak elok sangat, apabila mukadimah percakapan kita sebelum membentangkan kertas yang ditulis secara "main-main" itu dengan kurang enak di pendengaran khalayak.
Apabila menerima jemputan, dalam koleksi kita tak ada sebuah pun buku karya sang tokoh yang akan kita bicarakan, ertinya sang sarjana yang maha lihai ini tidak pernah membaca sebuah pun buku sang tokoh tersebut. Rendahnya taraf kesusasteraan yang ada pada sang tokoh itu. Lalu pergilah sang sarjana ke perpustakaan universiti dan terjumpalah sebuah buku sang tokoh, dengan sebuah buku itu, maka sarjana kawakan pun menghukum untuk seluruh karya sang tokoh yang telah menulis selama 70 tahun. MasyaAllah. Tingginya ilmu sarjana dan rendahnya martabat sang tokoh.
Teringat ada kes 'sarjana' yang meng'swastakan' assignment dan dgn bangga beri alasan "mana aku ada masa nak buat! Aku buat tuittion sampai malam!"
ReplyDeleteKini dia mengajar di U!
Ada kes lain. Yang gila nak jadi SN. Walau satu buku pun yang dia tulis bukan buku hebat! Memang gila dan tak sedar diri yang gila melobi tu!
ReplyDelete